Rabu, 26 Maret 2014

Wajah Pendidikan Indonesia

BILA ditanyakan kepada anak “Apa pengalaman terindah dan menyenangkan pada masa sekolah?” Dengan jujur dan polos mereka menjawab, “Waktu istirahat, ketika guru berhalangan hadir dan saat lonceng pulang berbunyi.” Kala itu mereka memperoleh kemerdekaan, terbebas dari penjara. Artinya, pendidikan di Indonesia belum berpihak pada anak. Masih cenderung merupakan beban bukan sebagai wadah dan perkembangan jiwa. Rasa keterpaksaan, ikut-ikutan lebih dominan ketimbang hasrat yang muncul dari nurani. Semestinya proses pembelajaran bisa mengembangkan potensi anak didik secara optimal, tetapi realita membuktikan sebaliknya, mental ke belakang. Setiap tahun semakin banyak anak lulus sekolah, semakin menambah panjang mata rantai antrian pengangguran. Penyandang ijazah SLTA, S1 bahkan S2 kian menumpuk. Belum lagi dalam proses perjalanan pendidikan ada yang stress. Sebagai pelampiasan hasrat mereka bolos sekolah, tawuran, mabuk menegak alcohol, mengkonsumsi narkoba bahkan bunuh diri. Perilaku penyimpangan ini tentu tidak dikehendaki oleh siapapun. Sudah masanya pendidikan dikembalikan menjadi miliknya anak-anak. Ini memang hak mereka. Pengertian pendidikan harus dipandang secara utuh bukan hanya pintar di sekolah, lalu lulus ujian, bukan sebatas itu makna dari pendidikan. Sekarang banyak anak nilainya bagus-bagus, IQ-nya tinggi tapi tidak punya sopan santun. Harus diakui ini juga adalah kegagalan pendidikan. Kalau anak sudah bergumam “Asyiknya sekolah di sini, saya bisa belajar banyak, berekspresi, bisa mengerti, enjoy,” itu artinya pendidikan sudah berlangsung baik. Dan momen seperti inilah yang dinanti-nantikan. Tidak mudah memang untuk berangkat ke sana. Hal utama yang harus diperhatikan adalah program atau kurikulum sekolah, kualitas guru-gurunya, proses belajarnya, sarana dan prasarana yang layak. Bisa saja kurikulumnya baik, materinya bagus tetapi sarana dan prasarananya yang kurang, atau sebaliknya. Empat komponen ini memegang andil besar untuk menuju kesuksesan dunia pendidikan. Zaman sekarang pembelajaran dituntut harus aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan dan berbobot, didukung sarana dan prasarana yang layak tadi. Terakhir evaluasi. Evaluasi bukan sekedar potret sesaat, tetapi harus memadukan semua unsur. Bukan sekedar evaluasi yang cuma sehari, nilai baik, tanpa mempertimbangkan proses panjangnya, pembekalan pada diri anak untuk melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tanpa tertekan, tanpa beban, tanpa kesulitan tetapi mudah penyesuaian. Dan siap terjun ke dunia kerja. Kita patut berterima kasih atas etikad baik pemerintah dengan adanya Direktorat Pendidikan Kesetaraan di bawah Direktorat Jendral Nonformal dan Informal atau BFI (Badan Formal dan Informal) yang merupakan apresiasi pemerintah untuk dunia pendidikan. Seperti adanya sepeda motor keliling, mobil keliling, atau perahu keliling, itu menandakan pemerintah concern dengan pendidikan informal seperti homeschooling. Hadirnya undang-undang sistem pendidikan dan program-program pemerintah tersebut pada dasarnya sudah cukup bagus, tapi semua itu harus dilakukan dengan lebih fleksibel, kreatif, dan tidak kaku. Contoh saat ini yang sering menjadi polemik mengenai ujian nasional. Sesungguhnya semua pihak yang berkepentingan, mempunyai hak untuk tunjuk tangan, mempunyai hak untuk bersuara, tidak hanya DEPDIKNAS tetapi juga Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang beranggotakan guru, orangtua murid, siswa (OSIS). Dengan adanya kesepakatan bersama tentu akan menemukan solusi terbaik. Dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional dicantumkan, pendidikan bisa ditempuh melalui tiga jalur, formal, nonformal, dan informal. Sekolah nonformal seperti les, kursus dan sebagainya diakui oleh UU SISDIKNAS di pasal 26. Sekolah informal, pendidikan yang dilakukan oleh keluarga sendiri, diakui oleh UU SISDIKNAS pada pasal 27. Sekolah nonformal dan informal yang kemudian lebih dikenal homeschooling dengan pengertian yang resmi. Bisa tunggal yaitu keluarga mendidik anaknya sendiri. Asal memberi tahu pada Dinas Pendidikan setempat kalau anaknya tidak sekolah di sekolah formal karena ingin dididik sendiri, itu boleh. Tentunya harus mengacu pada standar isi dan standar kompetensi. Standar isi jelas ada lima kurikulumnya terdiri estetika, etika, iptek, kewarganegaraan serta pendidikan jasmani dan kesehatan. Kompetensinya pun sudah ditetapkan sebagai kompetensi minimal supaya ada standar. Misalnya kompetensi untuk anak SD kelas satu semester satu minimal bisa menghitung sampai angka dua puluh. Entah itu di Papua, Jambi, Jakarta, atau Surabaya, minimal itu. Jika bisa lebih silahkan tapi paling tidak ada standar minimalnya. Itu namanya standar kompetensi kelulusan. Makanya sekarang kurikulumnya bernama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kemudian homeschooling majemuk itu kalau beberapa keluarga berhimpun dengan keluarga lain yang mengajarnya bisa bergantian. Dan yang ketiga komunitas homeschooling berlembaga, menjadi homeschooling majemuk dan akhirnya terbentuk komunitas. Kalau saja pemerintah mau, bijak dan serius menjalankan amanah UUD NRI 1945 yang suci ini maka pendidikan di Indonesia akan maju dan bermartabat. Kita tidak dipandang sebelah mata oleh negara luar yang pendidikan sudah modern. Ingat! Tidak ada bibit unggul akan menjadi bunga yang mekar kalau tidak ditanam dengan tanah yang subur. Tanah yang subur ini adalah pendidikan pada anak-anak kita. Jadi kalau pendidikan tidak merupakan tanah yang subur seperti di negeri ini, hari ini, maka jangan salahkan Indonesia akan terus terperosok karena anak-anak yang sebetulnya bibit unggul dan cemerlang itu ibarat ditanam di tanah yang gersang dan tandus. Ini wajah pendidikan indonesia dengan KTSP. Bagaimana raut wajah pendidikan Indonesia dengan Kurikulum 2013 besok?