Jumat, 26 Juli 2013

SEKOLAH UNGGUL UNTUK (SI)APA?

Bahwa proses pendidikan di Indonesia ini masih belum memenuhi standar nasional yang diinginkan oleh semua lapisan masyarakat, terutama dunia kerja, sehingga untuk memenuhi standar mutu yang diinginkan, diperlukan langkah-langkah objektif sebagai solusinya. Bangunan kualitas pendidikan untuk memperoleh manusia berkualitas ternyata bisa diselenggarakan tidak hanya dari segi formal saja namun juga dari segi non formal. Meskipun dalam ukuran mikro, sekarang tergantung pada siapa yang akan bersekolah, siapa yang akan di didik, dan siapa yang akan mendidik. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang unggul, maka gurunyapun harus unggul lebih dulu. Pertanyaan, siapa yang akan membuat guru itu menjadi unggul? Tentu pengalaman masa lalu, karena pengalaman adalah guru yang berharga. Untuk mencapai kriteria unggul tidak hanya menyekolahkan manusia, lebih tepatnya membuat sekolah bagi makhluk. Karena untuk mendapatkan kriteria manusia unggul tentu tidak terlepas dari peran serta makhluk selain manusia. Contohnya bila tiga manusia buta dihadapkan pada seekor gajah, maka pengetahuan mereka tentang gajah dihadapan mereka akan berbeda, tergantung di mana mereka berdiri, disini setiap makhluk berperan memberikan argumennya untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. Namun ketiga pengetahuan ketiganya harus dipadukan, sehingga akan terbentuk bayangan seekor gajah yang mendekati sebenarnya. Sinergi pendidikan jasmani dan pendidikan rohani harus seiring sejalan, bila tidak akan muncullah bencana akhlak, bencana moral dan etika. Pendidikan kedua dimensi manusia itu ternyata tidak mendapat penghargaan yang layak. Sekelompok manusia lebih cenderung menghargai pendidikan jasmani dengan setinggi-tingginya, namun tidak pada pendidikan rohani. Bagaimana kita akan membangun karakter manusia bila organ tunggal di sebuah pesta pernikahan misalnya, dihargai bahkan sampai puluhan juta, sedangkan meraka yang membacakan ayat-ayat Alqur’an hanya dihargai dengan ucapan terima kasih. Bisa dipastikan Musabaqoh Tilawatil Qur’an tidak akan ada lagi bukan karena tidak ada peserta, namun tidak ada yang peduli, karena mereka lebih mementingkan segi jasmani saja. Di sekolah saja, anak yang ‘pintar’pun masih dipilah-pilah lagi untuk menentukan tingkatan kelas secara parallel, padahal bila dikelompokkan menurut urutan pendaftaran bukan kepintaran,tentu akan terjadi pemerataan kesempatan belajar tanpa harus terbeani dengan tingkat intelektualnya. Anak yang pintar tentu akan membimbing anak yang bodoh, secara tidak langsung akan terjadi hubungan pengajaran sejawat dalam satu kelas, tentu saja harus diawasi oleh manusia yang berprofesi guru sebagai agen perubahan. Salah satu alasan mengapa ajaran yang disampaikan kepada siswa tidak pernah terekam dalam memori jangka panjang siswa adalah persiapan mengajar seorang guru, tentu sebelum masuk ke dalam kelas, seorang guru sudah membayangkan metode pengajaran yang akan diterapkannya, namun kadang kenyataan di lapangan, ternyata metode yang dibayangkan itu tidak bisa dilakukan. Hal itulah yang mendasarinya, padahal sang guru sebenarnya sudah membayangkan tujuan pembelajarannya pasti akan sesuai dengan harapannya. Kurikulum dibuat untuk dijabarkan dan hasil penjabarannya itu yang diberikan kepada siswa. Apa yang diharapkan para pembuat kurikulum itu selama bertahun-tahun, apa yang diharapkan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah favorit, sekolah unggul, sekolah internasional, dan disekolah-sekolah lain akan sia-sia, bila ternyata sang guru belum mampu menterjemahkan hal yang tersirat dalam pesan kurikulum kepada anak didiknya. Manajemen Sekolah dapat dilakukan asal tidak membatasi secara tajam wewenang pelaku pendidikan untuk mengembangkan semua potensi akademik peserta didik, bahwa tiap wewenang yang ada dalam semua personalia pelaku pendidikan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan. Adanya sinergi antara satuan pendidikan dengan pemerintah dapat membantu memperlancar proses pendidikan. Pendidikan itu adalah bentuk bangunan makro, sedangkan penyusun bangunan pendidikan itu adalah seluruh sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat pendidikan itu, ini adalah material mikronya. Bila sel-sel mikro ini mampu membentuk bangunan Pendidikan dengan baik dan unggul, maka akan muncullah sekolah unggul. Imbasnya, akan terbentuk sumber daya manusia yang unggul pula. Kriteria unggul itu akan mewakili seluruh sisi hakikat manusia. Manusia hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan rohani. Keduanya seyogyanya harus tersentuh dengan proses pembelajaran. Ketidakseimbangan pembelajaran kedua dimensi tersebut akan menimbulkan ”Bencana Akhlak”. Akibatnya tidak akan ada lagi etika kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, dan lain-lain. Ini berarti pendidikan itu harus membangun karakter manusia. Untuk itu harus ada bidang studi yang khusus membentuk karakter manusia itu (spiritual), banyak sekolah-sekolah yang menempatkan pendidikan agama menjadi satu dengan materi akidah dalam bidang studi agama. Konsekuensinya pendidikan haruslah menjadi agen perubahan baik tingkah laku-maupun norma-norma, ini termasuk dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah harus terbaik. Pembelajaran yang masuk memori jangka panjang dan siswanya tidak akan lupa seumur hidup. Namun kenyataannya, yang terjadi adalah begitu guru menyelesaikan jam pelajaran, maka hilang juga ilmu yang diajarkan. Artinya proses pembelajaran harus mengandung kekuatan emosi positif. Mulai dari proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasan siswa. Konten pelajaran mulai jenjang SD hingga seterusnya seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran jangan sampai dijadikan terpisah, tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, minimal siswa memahami manfaat materi pelajaran. Yang banyak terjadi, banyak siswa tidak memahami untuk apa sebuah materi diajarkan oleh guru. Manajemen Sekolah. Itulah jawabnya. Kita kurang memahami manajemen sekolah yang baik. Padahal manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan sumber manusia tingkat tinggi, sangat kompleks, dan dibutuhkan orang-orang yang profesional untuk mengelolanya. Ibarat seekor burung merpati yang mempunyai sepasang sayap terbang menuju sangkar kehidupan. Sayap pertama adalah konteks sistem, yaitu penyelenggara pendidikan, dan sayap kedua, yaitu kepala sekolah dan guru. Bahwa menyelenggarakan sekolah haruslah dapat menyentuh karakter manusia sebagai jasmani dan sebagai rohani dan ini harus dipisahkan dari bidang studi agama, setiap bidang studi harus menyentuh 2 dimensi manusia tersebut. Sekolah dibangun untuk memintarkan anak yang bodoh dan membaikkan anak yang nakal. Proses pembelajaran harus mengandung kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa, dan ini dapat dilakukan bila pendidik (guru), proses dan materi yang diajarkan adalah yang terbaik, tentu saja dukungan pemerintah dan kepala sekolah juga harus diperhitungkan.