Jumat, 25 Maret 2011

Lulus UN, Bisa apa?

Perhelatan akbar Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional akan digelar kembali. Pro dan kontra terus mewarnai, yang menyetujui tentu punya alasan kuat. Namun yang kontra tentu tidak kalah sengit berdebat. Standar kompetensi lulusan yang ditetapkan Depdiknas tentu menyulut kegerahan, pasalnya nilai standar minimal yang semula 5.00 kini harus di tambah menjadi 5.50.
Bagi siswa yang memang betul-betul telah menyiapkan diri, dan telah merancang langkah mereka, tentu hal itu bukan masalah. Namun bagi siswa yang memiliki ketertinggalan dan keterbatasan dalam akses pengetahuan, hal ini tentu akan sangat menjadi beban. Buktinya untuk mendongkrak nilai melebihi standar yang ditetapkan tentu memerlukan usaha yang lebih baik lagi.
Akhirnya berbagai carapun ditempuh, (meskipun ‘belum’ terbukti), namun usaha untuk memperoleh ketuntasan minimal itu tentu dilakukan dengan cara gamblang dan serampangan, dan ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memang mencari sela untuk memojokkan siswa dan menambah koceknya agar lebih tebal. Namun rambu-rambu kurikulum yang diluncurkan, tentu tidak semulus kenyataan di lapangan. Hal ini menunjukkan ada paradoks dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), di dalamnya termaktub tentang otonomi pendidikan. Model UN masih terus berlangsung. Padahal UN dapat bermakna kontradiktif dengan amanah KTSP. Hakekat kemandirian serta serta model penilaian yang dikembangkan dalam KTSP menjadi kontrakdiktif. Namun UN akan memberi makna apabila apabila bertujuan sebagai model pemetaan pendidikan, pemetaan kemampuan dasar bukan hanya penentu kelulusan yang hanya menambah ‘dosa’ di kalangan siswa dan pendidik.
Sekarang yang menjadi polemik adalah apa maksud pemerintah menetapkan standar ketuntasan minimal yang 5,50 itu? Bila di Amerika seorang siswa dalam belajar Bahasa Inggris, misalnya, telah ditetapkan standar bagi mereka yang telah menempuh ujian. Siswa yang mendapat nilai 8.00 maka dapat dikategorikan sebagai penutur dan pemandu bahasa Inggris, nilai 6.00 mereka hanya dikategorikan sebagai penutur saja, nilai 4.00 dikategorikan seorang yang baru mengerti berbahasa Inggris, dan nilai dibawah 3.00 dikategorikan belum menguasai bahasa inggris. Dan bagi mereka yang telah mendapatkan standar nilai ini, telah ada tempat atau lapangan tugas bagi mereka, tinggal siswa sendiri yang menentukan langkahnya ke depan. Siswa yang mendapat nilai 6.00 - 8.00 sudah ada posisi kerja mereka di pemerintahan, dan mereka direkomendasikan untuk menempati posisi tersebut, sedangkan siswa yang mendapat nilai 4.00 direkomendasikan untuk lebih meningkatkan keterampilan mereka ke perguruan tinggi atau sederajat. Dan yang belum mencapai ketuntasan malah akan dieliminasi dan ditingkatkan lagi pengetahuannya.
Itu di luar negeri. Bagaimana di negeri ini?
Bila pemerintah menetapkan standar nilai 5.50 untuk pelajaran Fisika misalnya, apa yang diharapkan pemerintah dengan 5.50 itu? Bisa apa siswa kita? Apakah setelah mendapatkan nilai 5.50 itu mereka bisa merakit radio? Apakah mereka bisa mencari lapangan kerja atau membuat lapangan kerja di bidang ekonomi atau Kimia? Hal ini masih dipertanyakan. Apalagi saat ini lulusan SMA sudah mulai diakomodasi lagi untuk bekerja di pemerintahan (PNS). Malah siswa yang tidak memiliki ijazah setingkat perguruan tinggi (IAIN) ‘diabaikan’ dan terlunta-lunta, padahal mereka telah memperoleh pengetahuan dan ilmu dibidang yang menjadi minat mereka selama di bangku sekolah. Namun kenyataan pemerintah tidak mengakui ilmu yang diperolehnya itu, kecuali mereka bisa menunjukkan bukti fisik, berupa ijazah yang dikeluarkan oleh Pemerintah!
Kalau saja kelulusan siswa tidak ditentukan oleh pemerintah, tapi oleh sekolah -karena hanya sekolahlah yang tahu apakah siswa itu berhak lulus atau tidak- maka tentu akan lahir siswa-siswa yang benar-benar memiliki ilmu dan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pemerintah dan masyarakat. Sehingga untuk mengikuti kuliah diperguruan tinggi tidak perlu lagi diuji dengan tes akademis, tes bakat, tes psikologi, tes lainnya yang hanya membuang waktu bagi perguruan tinggi dan jelas menguras tenaga dan uang. Namun cukup sekolah yang merekomendasikan ke perguruan tinggi atau masyarakat pengguna yang ingin menggunakan lulusan SMA/SMK itu untuk diterima di perguruan tinggi atau terjun ke masyarakat. Setidaknya di daerah tempat mereka menimba ilmu. Ini dapat meningkatkan pengembangan perluasan lapangan kerja atau peningkatan disiplin ilmu setidaknya di daerah mereka sendiri. Dan seharusnya pemerintah daerah mengakomodir hal ini.